Articles

Di Indonesia, bakteri membantu petani udang untuk meningkatkan biosekuriti

05 Mei 2021
-
4 menit

Lebih dari satu dekade yang lalu, penyakit terkait bakteri mulai bermunculan di Indonesia, menyebabkan kerugian yang signifikan terhadap industri udang. Teguh Winarno dan Kadi Mey Ismail mempunyai misi untuk membantu petambak udang lokal untuk mengoptimalkan biosekuriti dan meningkatkan bisnis mereka.

Meski Forrest Gump memiliki sebutan khusus untuk udang yaitu Fruit of the Sea, spesies krustasea ini bisa jadi penyebab dari mimpi buruk setiap petambak udang di Indonesia. “Bisa dibilang udang merupakan makhluk yang rumit,” Kadi mulai menjelaskan dengan hati-hati. Sebagai seorang manajer produk Aqua di De Heus Indonesia, dia terbiasa bekerja dekat dengan para petambak dan memahami masalah khusus yang dihadapi oleh petambak udang.

“Untuk ikan seperti nila dan patin, fokus utama kami adalah untuk meningkatkan produktivitas melalui pakan yang berkualitas dan pengelolaan air yang optimal.“ Pada udang, faktor genetika dan kerentanan hewan terhadap penyakit merupakan komponen tambahan yang bisa mempengaruhi bisnis petambak – menjadikan biosekuriti sebagai prioritas utama. “Jika seorang petambak telah panen dan ternyata kualitas udang dihasilkan rendah, maka tidak akan mendapatkan keuntungan,” ujar Kadi. “Kata orang Indonesia tentang petambak udang: investasi tinggi, untung tinggi tetapi juga memiliki resiko yang tinggi.”

Dengan pendekatan on-the-farm, Kadi bersama tim di De Heus menawarkan dukungan teknis yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan untuk memperkuat kemampuan dan mencapai tujuan produktivitas dari masing-masing pelanggan. Kolaborasi dengan laboratorium lokal berperan besar untuk hal ini, karena tim technical support dapat menganalisis kualitas air kolam pelanggan.

Semua bergantung pada kualitas air

Kualitas air yang buruk dapat memicu peningkatan penyakit virus dan bakteri, banyak di antaranya sangat menular dan menyebabkan kematian. Tambak udang biasanya berlokasi di area yang padat, sehingga wabah dari satu tambak bisa berdampak serius bagi seluruh area tersebut.

Pemberian pakan udang yang khas berdampak besar kepada kualitas air, karena udang mengunyah dengan perlahan sehingga pakan yang tidak dimakan akan berakhir di dasar kolam. Nitrogen – bahan inti yang membantu mencapai pertumbuhan udang yang baik – bisa bereaksi. Selain itu, ditambah dengan kotoran udang yang bisa mencemari air.

Peduli kepada generasi selanjutnya

"Kata orang Indonesia tentang petambak udang: investasi tinggi, keuntungan tinggi, tetapi juga beresiko tinggi."

Kadi Mey Ismail

Product Manager Aqua

Apalagi, petambak udang sangat bergantung pada air laut. “Sebagai bagian dari siklus pembudidayaan, air dibuang dari kolam ke laut, dan air yang baru dialirkan kembali ke dalam kolam,” jelas Kadi.

“Bisa dibayangkan air yang tercemar dari kolam akan mempengaruhi kehidupan di laut.” Selain itu, sangat mungkin untuk para petani udang saling mencemari air karena siklus yang berbeda. “Air yang tercemar akan berimbas ke kolam petambak udang lain di sekitarnya.”

Synbiotics: melawan alam dengan alam

Untuk meningkatkan biosekuriti di budidaya udang, rekomendasi nomor satu dari Kadi bersama tim di De Heus adalah perawatan kolam berdasarkan synbiotics – sebuah sinergi antara prebiotik dan probiotik. “Proses synbiotics ada tiga,” jelas Teguh, Head of Technical Shrimp dan Aqua dan sosok di balik penelitian pada tahun 2018 yang menghasilkan jenis synbiotics yang sesuai dengan pasar udang di Indonesia. “Pertama, bakteri yang ada di air akan memakan dedak padi sehingga bakteri akan mulai berkembang biak. Selanjutnya, enzim memecah protein di dalam air sehingga udang lebih mudah mencerna. Terakhir, bakteri akan memakan bahan organik yang kembali tenggelam ke dasar kolam. Yang tersisa adalah lumpur organik yang ramah lingkungan dan aman untuk bersirkulasi kembali ke laut. Synbiotics dapat menggantikan penggunaan bahan kimia, hal ini merupakan langkah bagus dalam menjaga lingkungan dengan lebih baik.”

Petani yang menggunakan synbiotics melihat peningkatan yang besar secara keseluruhan dari hasil kinerja pertanian mereka. “Hasilnya signifikan. Tingkat infeksi menurun hingga 70 persen, dan beiringan dengan meningkatnya kualitas udang secara keseluruhan, keuntungan tambak bisa meningkat hingga 20 persen,” ucap Teguh.

Namun, ini bukanlah prosedur standar yang dapat diterapkan langsung oleh setiap petani udang. Beberapa tidak memiliki akses untuk mendapatkan dedak padi yang dibutuhkan dalam proses synbiotics, dan beberapa yang lainnya tidak dapat memenuhi investasi yang dibutuhkan. Teguh: “Kami berencana untuk menyediakan program synbiotics dari fasilitas produksi kami sendiri sehingga dapat mengakomodasi pelanggan kami dengan lebih baik.”

“Hasilnya signifikan. Tingkat infeksi menurun hingga 70 persen, dan beiringan dengan meningkatnya kualitas udang secara keseluruhan, keuntungan tambak bisa meningkat hingga 20 persen”

Teguf Winarno

Shrimp Specialist

Menemukan profitabilitas dalam keberlanjutan

Melalui kolaborasi yang intensif, tim De Heus berhasil mengembangkan hubungan yang dekat dengan para petani udang di seluruh Indonesia dan bisa mendukung mereka dalam mengoptimalkan biosekuriti dan meningkatkan bisnis mereka dengan sumber daya yang tersedia secara lokal. Teguh: “Yang penting bagi kami adalah kami mendukung pelanggan kami dalam mendapatkan profit secara berkelanjutan – melalui pakan, dan juga pengetahuan. Terasa seperti kemitraan jangka panjang, dengan cara itulah kami dapat membantu mereka mencapai target dan mengembangkan bisnis.” Pada akhirnya, ini harus menjadi solusi yang saling menguntungkan kedua pihak.

“Dan hal ini memang bisa!” Kadi menambahkan dengan semangat. “Kualitas air yang lebih baik sama dengan kualitas hasil panen yang lebih baik. Dan itu berarti keuntungan yang lebih tinggi - tidak hanya untuk pelanggan kami, tetapi juga bagi seluruh rantai budidaya udang di Indonesia.”

Program berkelanjutan global kami

dengan permukaan yang terdiri dari 60 hingga 70 persen air, iklim tropis yang memungkinkan air hangat sepanjang tahun dan garis pantai yang tampak tak terbatas, Indonesia menawarkan lingkungan yang ideal untuk budidaya monodon – juga dikenal sebagai udang Vannamei. De Heus bekerja dengan para petani udang yang sebagian besar berada di pulau Jawa, pulau Sulawesi Selatan dan Tengah, Kalimantan Selatan dan Barat, dan Bali. Saat Anda melihat peta di Google, Anda bisa melihat beberapa garis pantai yang dihiasi dengan tambak udang.