
Asal Usul Udang Windu, Udang Asli Indonesia
Penaeus monodon, dikenal luas sebagai udang windu atau black tiger shrimp, merupakan spesies krustasea laut yang berasal dari kawasan Indo-Pasifik. Habitat alaminya mencakup pesisir timur Afrika dan Semenanjung Arab, Asia Tenggara, hingga Samudra Pasifik dan Australia bagian utara. Spesies ini pertama kali dideskripsikan oleh Johan Christian Fabricius pada tahun 1798, dan sejak itu menjadi salah satu komoditas utama dalam industri akuakultur global, khususnya di Asia, berkat nilai ekonomis dan kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan budidaya.
Udang windu banyak dibudidayakan karena ukurannya yang besar, pertumbuhannya yang cepat, tingkat kelangsungan hidup yang tinggi, serta ketahanannya terhadap penanganan. Betinanya dapat tumbuh hingga sepanjang 33 cm dengan berat lebih dari 300 gram, sementara udang jantan umumnya lebih kecil. Daya tahan tubuh yang kuat memungkinkan spesies ini berkembang biak di tambak tradisional dan cocok dibudidayakan dalam berbagai sistem, mulai dari tambak ekstensif hingga intensif. Keunggulan-keunggulan inilah yang menjadikannya sebagai spesies udang dominan di kawasan Indo-Pasifik selama beberapa decade terutama pada tahun 1970 hingga 2000an.
Perjalanan Budidaya Udang Windu di Indonesia
- 1970-an: Budidaya udang windu di Indonesia dimulai secara tradisional sebagai hasil sampingan bersamaan dengan tambak ikan bandeng. Seiring waktu berjalan, metode budidayanya mulai berkembang menjadi lebih intensif.
- 1980-an: Terjadi ekspansi besar-besaran dalam budidaya udang windu. Indonesia menjadi salah satu produsen utama dunia, dan udang windu mulai mendominasi pasar ekspor udang nasional.
- 1990-an: Produksi udang windu memasuki puncak kejayaannya. Namun, tantangan penyakit yang disebabkan oleh virus mulai mengancam dan memberikan dampak negatif yang signifikan pada akhir dekade ini.
- 2000-an: Serangan penyakit dan introduksi spesies baru udang vannamei (Litopenaeus vannamei) sebagai spesies udang alternatif mulai menggeser populasi udang windu sebagai spesies udang utama untuk budidaya yang menyebabkan perubahan besar dalam industry ini.
Serangan Virus dan Tantangan Produksi pada Udang Windu
Antara pertengahan 1980-an hingga 1990-an, produksi udang windu di Indonesia mulai mengaami penurunan tajam. Penurunan ini disebabkan oleh serangan virus seperti Monodon Baculovirus (MBV) dan White Spot Syndrome Virus (WSSV), yang menghancurkan populasi udang dan menurunkan kepercayaan petambak. Kerugian dalam budidaya udang yang ditanggung oleh pembudidaya mulai terasa dan kondisi ini mendorong inovasi dalam pencarian spesies alternatif yang lebih tahan terhadap penyakit tersebut serta penerapan manajemen budidaya yang lebih baik.
Tahun 2000-Sekarang: Perubahan Pasar dan Kebangkitan
Meskipun sempat mengalami kemunduran, budidaya udang windu kembali bangkit sesaat pada awal 2000-an berkat dukungan dari kebijakan pemerintah dan industri. Namun, masuknya udang putih atau yang lebih umum disebut vannamei (Litopenaeus vannamei) dan adopsi cepatnya di pasar membuat peta persaingan dua spesies udang ini berubah drastis. Pada 2007, produksi udang vannamei global melampaui udang windu, dan pada 2020 produksinya mencapai 2,5 kali lipat lebih banyak (722.000 ton dibandingkan 208.000 ton untuk udang windu). Kini, udang windu menyumbang populasi sekitar 20–30% dari total produksi udang Indonesia yang memiliki target utama untuk pasar ekspor premium. Beberapa negara yang menjadi tujuan utama ekspor udang windu Indonesia saat ini adalah Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa.
Peluang dan Risiko dalam Budidaya Udang Windu Saat Ini
Meskipun populasi dan pasar udang Indonesia didominasi oleh udang vannamei, udang windu tetap memiliki keunikannya sendiri dan memiliki segmen pasar yang cukup stabil di Indonesia. Selain itu, produksi udang di Indonesia sendiri ditargetkan akan terus berkembang dan pada tahun 2024 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia telah menargetkan produksi udang untuk mencapai 2 juta ton. Data KKP pada tahun 2023 menunjukan bahwa produksi udang windu mencapai 120 ribu ton yang berkontribusi sebesar 13% pada produksi udang nasional. Beberapa peluang dan resiko dalam budidaya udang windu adalah:
Peluang:
- Pasar ekspor premium seperti Jepang dan Uni Eropa masih mengutamakan udang windu karena ukurannya yang besar dan cita rasanya.
- Tambak kecil dan tradisional tetap bisa meraih efisiensi dan keuntungan jika fokus pada kualitas, bukan kuantitas.
- Harga udang windu yang lebih tinggi dari udang vannamei
- Inovasi benur udang windu SPF untuk mengurangi resiko terhadap penyakit umum seperti White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan lainnya.
Risiko:
- Kerentanan terhadap penyakit seperti MBV dan WSSV.
- Persaingan ketat dari L. vannamei yang lebih cocok untuk skala industri besar.
- Pasar yang lebih spesifik dan terbatas dari udang vannamei.
- Ketidakpastian lingkungan dan pasar yang dapat memengaruhi keuntungan petambak kecil.
Masa Depan Budidaya Udang Windu di Indonesia
Udang windu tetap menjadi spesies ikonik dalam sejarah akuakultur Indonesia. Perjalanan budidayanya penuh dengan inovasi, tantangan, dan adaptasi. Meski kini tidak lagi dominan karena penyakit dan persaingan dengan udang vannamei, udang windu masih memegang peran penting di pasar premium dan sistem budidaya tradisional. Masa depan budidaya udang windu akan sangat bergantung pada kemajuan dalam pengendalian penyakit, program pemuliaan, dan strategi pemasaran. Dengan investasi yang tepat dan inovasi berkelanjutan, udang windu bisa terus menjadi komoditas bernilai tinggi dan berkelanjutan dalam industri perudangan Indonesia.
Tentang penulis

Rahman Ibrahim
Digital Marketer
Hit me up for collaboration