
Tahun 1990-an merupakan puncak kejayaan dari budidaya udang windu di Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara penghasil udang windu terbesar dan menghasilkan udang berkualitas untuk pasar ekspor global. Namun, hal ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1994 dilaporkan penyakit baru yang menyerang tambak udang di Indonesia. Udang yang terdampak memiliki ciri unik dengan bintik atau bercak putih pada tampilan fisiknya. Serangan penyakit ini berdampak negatif secara signifikan terhadap komoditas udang hingga tahun 2000-an. Penyakit ini dikenal sebagai White Spot Disease (WSD).
Apa Itu WSSV?
White Spot Syndrome Virus (WSSV) merupakan virus penyebab penyakit bercak putih atau White Spot Disease (WSD) yang sangat merugikan dunia perudangan. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada awal tahun 1992 di Taiwan dan sejak itu menyebar cepat ke berbagai negara penghasil udang, termasuk Indonesia. WSSV memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi dan menyebar dengan cepat, menjadikannya ancaman besar bagi para pembudidaya. Dampaknya tidak hanya menurunkan produktivitas tambak, tetapi juga berpotensi menurunkan pendapatan petani dan melemahkan posisi Indonesia dalam perdagangan udang internasional.
Mengenal WSSV Lebih Dekat
Source: International Commitee on Taxonomy of Viruses
Secara ilmiah, WSSV tergolong virus DNA beruntai ganda dengan selubung luar, masuk dalam keluarga Nimaviridae dan genus Whispovirus. Virus ini menyerang udang melalui insang atau kutikula, kemudian berkembang di jaringan tubuh yang berasal dari lapisan luar (ektodermal) dan tengah (mesodermal). Penularan bisa terjadi secara horizontal melalui air dan kontak langsung antar udang, serta secara vertikal dari induk ke anak. Selain itu, virus ini dapat bertahan lama di lingkungan dan terbawa oleh organisme pembawa seperti krustasea liar, kerang, dan cacing laut, sehingga memperluas potensi penyebarannya di tambak.
Hewan yang Rentan Terinfeksi
WSSV tidak hanya menyerang udang vaname (Litopenaeus vannamei) atau udang windu (Penaeus monodon), tetapi juga dapat menginfeksi berbagai jenis krustasea lainnya seperti kepiting, lobster, udang galah, bahkan cacing laut jenis Dendronereis spp.. Semua tahap kehidupan udang rentan terhadap infeksi ini, mulai dari larva hingga dewasa. Namun, udang yang masih muda (juvenil) dan sub-dewasa biasanya mengalami dampak paling parah dengan tingkat kematian tertinggi.
Gejala Klinis dan Cara Diagnosis
Udang yang terinfeksi WSSV akan menunjukkan beberapa gejala fisik yang khas, seperti munculnya bintik putih berukuran 1 hingga 2 mm pada bagian cangkang luar dan dalam karapas. Tubuh udang juga akan tampak memerah, lesu, serta menunjukkan penurunan nafsu makan. Gerakan udang menjadi tidak teratur, dan dalam waktu singkat, bisa terjadi kematian massal dalam 3 hingga 10 hari setelah infeksi.
Secara perilaku, udang yang sakit sering terlihat berkumpul di pinggir kolam atau di permukaan air. Untuk memastikan infeksi WSSV, diperlukan metode diagnostik seperti pemeriksaan visual gejala, uji PCR (Polymerase Chain Reaction) yang sangat sensitif dan akurat, serta pemeriksaan histopatologi untuk melihat adanya perubahan sel khas akibat infeksi virus pada jaringan udang.
Cara Penularan dan Faktor Risiko
Penularan WSSV dapat terjadi melalui berbagai jalur, termasuk air tambak yang sudah terkontaminasi, alat dan perlengkapan yang tidak disterilisasi, serta kontak dengan petugas atau kendaraan yang berpindah antar tambak. Virus juga bisa terbawa oleh organisme pembawa seperti kerang, tiram, kepiting liar, dan makhluk laut lainnya.
Beberapa faktor lingkungan juga meningkatkan risiko penyebaran virus, misalnya fluktuasi suhu yang drastis, kadar salinitas yang tidak stabil, dan kualitas air yang buruk. Tambak yang mengandung banyak bahan organik dan berada dalam kondisi stres lingkungan lebih mudah terserang wabah. Selain itu, praktik budidaya yang tidak baik seperti padat tebar berlebih, persiapan kolam yang minim, dan tidak melakukan karantina terhadap benur baru, turut memperbesar risiko penularan.
Dampak Ekonomi
Serangan WSSV bisa menyebabkan kematian udang secara total dalam waktu singkat, bahkan hingga 100% dalam satu kolam. Kerugian ini bukan hanya berdampak pada pembudidaya secara individu, tetapi juga mengguncang perekonomian daerah dan menurunkan pendapatan ekspor negara. Harga jual udang bisa anjlok akibat suplai berkurang dan kualitas terganggu. Beberapa wilayah di Indonesia telah mengalami kerugian besar akibat wabah WSSV, dan banyak petani terpaksa menghentikan produksi sementara waktu untuk pemulihan tambak.
Strategi Pencegahan WSSV
Pencegahan menjadi kunci utama dalam mengendalikan WSSV. Petambak harus menerapkan biosekuriti yang ketat dengan membatasi pergerakan manusia, alat, dan kendaraan antar kolam. Setiap orang yang masuk ke area tambak wajib melalui proses sanitasi. Kolam harus dikeringkan, dilakukan pengapuran, dan disterilisasi sebelum tebar benur. Indukan dan benur juga wajib melalui pemeriksaan PCR untuk memastikan bebas virus sebelum digunakan.
Karantina terhadap stok baru sangat penting untuk menghindari masuknya virus dari luar. Penggunaan disinfektan yang disetujui secara berkala pada air, peralatan, dan kendaraan menjadi langkah wajib untuk menjaga keamanan biologis tambak dari ancaman WSSV.
Praktik Budidaya Terbaik (Best Management Practices)
Untuk menjaga tambak tetap sehat, petambak disarankan mempertahankan kepadatan tebar dalam batas ideal, agar udang tidak stres dan risiko infeksi menurun. Pemantauan kualitas air seperti suhu, salinitas, pH, dan kadar oksigen terlarut harus dilakukan secara rutin. Selain itu, penggunaan probiotik dan imunostimulan sangat bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh udang terhadap infeksi.
Salah satu strategi jangka panjang yang efektif adalah menerapkan sistem rotasi kolam (zoning) dan masa istirahat setelah panen. Ini penting untuk memutus siklus hidup virus dan memungkinkan kolam kembali ke kondisi optimal sebelum digunakan lagi.
Tindakan Pengendalian
Jika terjadi wabah, tindakan darurat harus segera dilakukan. Seluruh udang yang terinfeksi harus dibuang dengan aman agar virus tidak menyebar ke kolam lain. Pertukaran air kolam sebaiknya dihentikan sementara, dan semua peralatan yang digunakan harus disterilkan. Fokus utama tetap pada pengelolaan tambak dan pencegahan sejak awal. Kolam yang sudah terkena wabah harus didisinfeksi menyeluruh dan diistirahatkan selama waktu yang disarankan sebelum digunakan kembali.
Butuh diskusi seputar manajemen budidaya udang?
Hubungi teknisi budidaya udang dari De Heus Indonesia.
Pemantauan dan Pengawasan
Pemantauan kesehatan udang dan kualitas air secara berkala merupakan langkah penting. Penggunaan teknologi deteksi dini seperti rapid test kit dapat digunakan untuk mencegah potensi wabah sejak awal. Sistem pelaporan wajib kepada pihak berwenang, baik di tingkat nasional maupun daerah, perlu dilakukan secara cepat agar tindakan pengendalian bisa segera diimplementasikan.
Penelitian di Indonesia dan berbagai negara saat ini sedang difokuskan pada pengembangan strain udang yang lebih tahan terhadap WSSV, pemahaman lebih lanjut tentang peran vektor seperti cacing laut dan kerang dalam mempertahankan virus di lingkungan, serta eksplorasi kandidat vaksin. Inovasi teknologi biosekuriti dan alat diagnosis cepat juga terus dikembangkan. Pemerintah, akademisi, dan industri diharapkan terus bekerja sama untuk meningkatkan sistem pencegahan dan pengelolaan penyakit ini secara berkelanjutan
Regulasi dan Kebijakan Pemerintah
Di Indonesia, regulasi pemerintah mewajibkan pengujian kesehatan terhadap indukan dan benur sebelum ditebar ke tambak. Setiap kasus wabah WSSV wajib dilaporkan kepada instansi terkait, sebagai bagian dari sistem kewaspadaan dini. Untuk melindungi pasar ekspor, udang dari wilayah yang terkena wabah biasanya dikenakan pembatasan perdagangan hingga situasi dinyatakan aman.
Tanya Jawab Seputar WSSV
Q: Apakah WSSV bisa disembuhkan?
A: Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang mampu menyembuhkan WSSV. Pencegahan dan respon cepat terhadap gejala awal merupakan cara paling efektif untuk menekan dampaknya.
Q: Apakah udang yang terinfeksi WSSV aman dikonsumsi?
A: Aman. Virus WSSV tidak menyerang manusia, dan udang yang telah dimasak dengan benar tetap bisa dikonsumsi.
Q: Seberapa cepat virus ini menyebar di tambak?
A: WSSV dapat menyebabkan kematian massal dalam waktu sangat singkat, yakni antara 3 hingga 10 hari setelah udang terinfeksi.
WSSV adalah ancaman nyata bagi masa depan budidaya udang di Indonesia. Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah preventif yang konsisten, manajemen tambak yang baik, serta dukungan riset dan kebijakan yang memadai. Kolaborasi antara petambak, pemerintah, dan dunia akademik menjadi kunci untuk menjaga produktivitas dan keberlanjutan industri udang nasional.
Tentang penulis

Rahman Ibrahim
Digital Marketer
Hit me up for collaboration!